Jumat, 27 Mei 2011

Menuju Jama’atul Muslimin

Menuju Jama’atul Muslimin
Resensi Buku

Oleh: Abu Nida


Judul Buku : Menuju Jama’atul Muslimin; Telaah Sistem Jama’ah dalam Gerakan Islam
Penulis : Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir, MA
Penerjemah : Aunur Rafiq Shaleh Tahmid, Lc
Penerbit : Robbani Press
Cetakan Ke : 7
Tahun Terbit : Juni 2009
Tebal Buku : xix + 427 halaman
Cover Buku "Menuju Jama'atul Muslimin, Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam"

Cover Buku "Menuju Jama'atul Muslimin, Telaah Sistem Jamaah dalam Gerakan Islam"

dakwatuna.com – Tidak pernah ada peradaban yang berkembang tanpa dukungan struktural yang kokoh. Setiap peradaban hampir selalu melalui tiga fase besar untuk berkembang. Pertama, fase perumusan ideologi dan pemikiran; kedua, fase strukturalisasi; dan ketiga, fase perluasan (ekspansi). Ideologi-ideologi besar semuanya mengalami tiga fase tersebut. Lihatlah Komunisme, Kapitalisme Barat, dan tak boleh dilupakan: Zionisme Internasional.

Jika kebangunan (peradaban) Islam modern telah dimulai secara individu oleh para tokoh dan pemikir seperti Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Dr. Muh. Iqbal, Muh. Abduh, Muh. Rasyid Ridha, dan seterusnya, maka rintisan pemikiran yang bersifat individual itu disambut secara lebih tertata, di antaranya dua tokoh pemuka dakwah yang tidak bisa dilupakan jika berbicara tentang kebangkitan Islam, yaitu Abul A’la Maududi dengan Jama’at Islaminya, dan asy-Syahid Hasan al Banna dengan Ikhwanul Musliminnya.

Dua pemuka inilah yang meletakkan dasar-dasar struktural gerakan kebangkitan Islam. Keduanya memiliki gagasan dasar yang sama. Bahwa kejayaan Islam dan mengembalikan Kekhilafahan Islam harus dimulai dari bawah, artinya persoalan aqidah yang kokoh, pemahaman syariah yang menyeluruh, dan pembenahan akhlaq yang benar. Pembenahannya harus dimulai dari tingkat individu, keluarga, masyarakat, negeri, dan barulah khilafah Islamiyah. Kedua tokoh itu pun punya perbedaan sedikit. Maududi dengan Jama’at Islaminya banyak menunjukkan figurisme Maududi dan lemah dalam kaderisasi. Maududi lebih banyak berceramah dan menulis buku daripada ‘mencetak’ kader. Begitu pula pergerakannya yang terbatas di anak benua India-Pakistan. Sedangkan pada Ikhwanul Muslimin, meski asy-Syahid Hassan al Banna adalah tokok utama, tetapi tidak menyebabkan munculnya figurisme. Wibawa Ikhwanul Muslimin tidak berkurang dengan meninggalnya Hassan al-Banna. Pergerakannya meluas ke hampir seluruh dunia. Sekurang-kurangnya pengaruh pemikirannya. Beliau lebih ‘mencetak’ orang daripada menulis buku. Dari para muridnya, muncullah pemikiran-pemikiran yang luar biasa. Bisa diambil contoh, Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Hassan al-Hudaibi, Umar Tilmisani, Dr. Yusuf Qaradhawi, Musthafa Masyhur, Dr. Ali Juraishah, Syeikh Ahmad Qaththan, Dr. Musthafa as-Siba’io, dan lain-lainnya. Hassan al Banna dalam usianya yang pendek yaitu 43 tahun, memang terlalu singkat untuk sampai pada figurisme. Beliau seolah-olah hidup dan dilahirkan di bumi ini untuk memulai dan meletakkan dasar-dasar pergerakan dan dakwah Islam yang asli yang telah hilang di kalangan kaum Muslimin pada abad modern. Metode pergerakannya terus dikembangkan oleh para muridnya tanpa rasa khawatir akan kehilangan originalitas itu sendiri.

Sementara itu, gelombang kebangkitan Islam terus bergerak dengan tantangan-tantangan yang semakin berat. Fenomena kebangkitan Islam muncul di seluruh dunia. Palestina, tanah waqaf Islam, dari sanalah semangat jihad ditiupkan sampai hari kiamat. Tiupan itu menumbuhkan Gerakan Intifadhah, gerakan yang sulit ditumpas oleh Israel dibanding perlawanan negara-negara Arab, Islamic Trend Movement di Tunisia, Front Keselamatan Islam di Aljazair, Ikhwanul Muslimin di Jordan, dan perjuangan Mujahidin Afghanistan yang berjuang mengusir tentara Soviet. Kebangkitan Islam juga diwarnai dengan berbagai pusat-pusat studi Islam di Barat dan penerbitan buku-buku Islam yang terus membanjir. Kenyataan ini tentu membangkitkan optimisme, meski tidak menutup mata terhadap meningkatnya sekularisme dalam berbagai aspek kehidupan.

Fenomena kebangkitan Islam di Indonesia juga ditandai dengan beberapa hal yang menarik dikaji. Di kota-kota besar, di kampus-kampus, di sebagian kelas menengah, mereka mulai ‘belajar’ Islam. Isu pembangunan yang dimulai tahun 70-an dan membawa dampak modernisasi dan sekularisme membuat terjadinya arus balik pada tahun 80-an. Mungkin ekses pembangunan yang mengandalkan pertumbuhan ekonomi menyebabkan manusia kekeringan spiritual. Ini yang menyebabkan munculnya berbagai kajian tentang Islam dengan berbagai modelnya. Fenomena lain sebelum tahun 80-an, jika berbicara tentang Islam dan gerakannya maka orang akan menoleh ke organisasi-organisasi Islam atau partai politik Islam seperti PPP, NU, Muhammadiyah, HMI, PII, dan seterusnya. Seolah-olah yang punya Islam dan dakwahnya hanyalah mereka. Gejala ini mulai mencair menjelang tahun 80-an. Memang nasib dakwah Islam tidak bisa diserahkan hanya pada organisasi atau partai politik Islam. Di sisi lain muncul kenyataan: organisasi-organisasi itu semakin kurang cekatan dalam merespon aspirasi-aspirasi Islam. Dalam beberapa segi terjadi beberapa ‘keletihan’ (fatigue) karena kurangnya terobosan-terobosan pemikiran yang strategis. Organisasi-organisasi itu mulai digugat oleh sebagian pendukungnya karena semakin kabur dalam menentukan tujuan akhir yang hendak dicapai. Bahkan di kalangan kampus, HMI kurang mendapatkan pasaran bagi mahasiswa yang mau aktif dan mendalami Islam. Juga tidak menutup mata tentang gerak organisasi-organisasi tersebut semakin terbatas. Oleh karenanya muncul kesadaran baru bahwa dakwah Islam bukanlah monopoli ormas dan orpol Islam, tetapi menjadi kewajiban setiap individu Muslim. Apakah ia bergabung atau tidak dalam organisasi tersebut sementara dakwah yang dilakukan secara bebas dalam kelompok-kelompok kecil, yayasan-yayasan terasa lebih lincah. Kritik lain terhadap ormas-orpol Islam itu antara lain: gaya kerja dan manajemen yang ‘agak kebarat-baratan’ yang melonggarkan nilai-nilai agama yang mereka canangkan sendiri sebagai doktrin. Misalnya, pemahamannya tentang demokrasi yang cenderung liberal.

Gejala ini memunculkan kecenderungan baru, munculnya isu ‘jamaah’. Terdapat dua kecenderungan yang saling bertentangan. Satu pihak, mereka yang alergi dengan isu ‘jama’ah’. Biasanya mereka yang sudah mapan aktivitas dalam ormas-ormas Islam, atau karena kepentingan politiknya sehingga menganggap isu ‘jama’ah’ itu adalah isu politik. Atau mereka yang sudah merasa cukup dengan mengartikan bahwa perintah berjamaah itu sudah dilaksanakan dengan melalui ormas-ormas itu. Di pihak lain, mereka menganggap ormas-ormas itu ‘bukanlah jama’ah’ sebagaimana yang dimaksudkan oleh Rasulullah saw., baik karena kelakuan, cara berfikir anggota pendukungnya, ataupun karena mekanisme yang tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah.

Gejala lain adalah munculnya fenomena sempalan. Sebab utamanya bisa diduga karena tersumbatnya aspirasi utama kaum Muslimin. Aspirasi utama (mainstream) – karena halangan politis dan birokratis – menyebabkan aspirasi-aspirasi murni Islam tidak tertampung sehingga muncullah gerakan sempalan, baik di bidang ideologi, pemikiran syariah, maupun pola-pola pergerakan.

Melihat kecenderungan di atas, maka harus ada kajian secara mendalam dan dewasa. Dan, untuk itulah buku ini ditulis.

Kandungan Buku
Buku ini terdiri atas tiga bab atau bagian utama. Bagian pertama, menjelaskan mengenai Haikal Jama’atul Muslimin (Struktur Organisasi Jama’atul Muslimin). Dalam bab ini, al-Ustadz Husain Jabir telah berusaha menjelaskan secara konsepsional berdasar tinjauan syariat Islam yang menunjukkan betapa pentingnya wujud sebuah Jama’atul Muslimin. Ia awali pembahasannya dengan mengupas makna umat Islam, baik dari bahasa maupun geografis. Kemudian ia lanjutkan dengan membahas mengenai urgensi syura sebagai lambang tertinggi yang darinya lahir berbagai kebijaksanaan sebagai manifestasi political will umat Islam. Sejalan dengan itu tak mungkin terwujud sebuah syura berskala global, meliputi seluruh umat tanpa adanya imamah atau sistem kepemimpinan. Dalam membahas fasal ini, penulis telah menjelaskan bahwa yang terpenting adalah mewujudkan dan menjaga imamah-nya (kepemimpinan), bukan masalah siapa yang menjadi imam. Artinya bisa saja sang imam bukan berasal dari keturunan Quraisy, asalkan ia memiliki kelayakan sebagai pemimpin umat. Penulis berpendapat bahwa manakala kesatuan umat Islam dengan segala karakteristik positifnya telah terbentuk, ditambah lagi adanya lembaga syura yang berjalan di dalam kerangka sebuah imamah, berarti pada saat itulah sebuah Jama’atul Muslimin telah eksis dengan segala makna hakikinya. Oleh karenanya, bagian pertama ini ia akhiri dengan membahas secara khusus tujuan Jama’atul Muslimin, baik tujuan khusus maupun tujuan umum, apalagi di masa kini, di mana sebagian kaum Muslimin lalai terhadapnya. Maka kami merasa perlu untuk membicarakannya di sini.

Menurut al-Ustadz Husain Jabir rahimahullah terdapat empat tujuan khusus jama’atul Muslimin, yaitu:
1. Pembentukan pribadi-pribadi Muslim (binaa’al-fard al-muslim)
2. Pembentukan rumah tangga Muslim (binaa’al-usrah-al-Muslimah)
3. Pembentukan masyarakat Muslim (binaa’al-mujtama’al-Muslim)
4. Penyatuan umat Muslim (Tauhid al-ummah al-Islamiyah)

Adapun tujuan umum Jama’atul Muslimin, menurut penulis buku ini, ada enam, yaitu:
1. Agar seluruh manusia mengabdi kepada Rabb Nya yang Maha Esa
2. Agar senantiasa memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar
3. Agar menyampaikan dakwah Islam kepada segenap umat Manusia
4. Agar menghapuskan fitnah dari segenap muka bumi
5. Agar memerangi segenap umat Manusia sehingga mereka bersaksi dengan persaksian yang benar (syahadatain)

Olehnya, dapatlah kita pahami mengapa ketika penulis menguraikan pendahuluan dari buku ini, beliau mengajukan sebuah pertanyaan: “Adakah Jama’atul Muslimin di dunia sekarang ini?” Dan kemudian beliau sendiri menyimpulkan jawabannya bahwa berbagai pemerintahan Islam yang ada saat ini tidak satu pun yang memenuhi persepsi konsepsional mengenai Jama’atul Muslimin yang dicita-citakan oleh setiap muslim yang cinta akan kemuliaan Islam dan kaum muslimin.

Maka di dalam bagian kedua bukunya, penulis melanjutkan bahasannya dengan judul ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin (Jalan Menuju Jama’atul Muslimin). Bagian kedua ini sedemikian pentingnya sehingga penulis menjadikannya tema sentral, bahkan menjadikan judul buku ini secara keseluruhan. Bagian kedua ini diawali dengan pembahasan mengenai fasal al-ahkam al-Islamiyah (Hukum-hukum Islam).

Sebagaimana kita ketahui dewasa ini kebanyakan manusia, termasuk kaum Muslimin, mempunyai persepsi keliru mengenai hukum-hukum Islam. Ada kesan seolah-olah hukum Islam merupakan aturan yang kuno, bahkan tidak sedikit yang berpendapat bahwa ia merupakan hukum yang sadis, kejam, dan tidak manusiawi. Apalagi setelah berbagai putusan pengadilan di beberapa negeri muslim yang memberlakukan hukum pidana Islam kemudian menjatuhkan vonis rajam bagi pezina, atau potong tangan bagi para pencuri, lalu hal ini diekspos oleh berbagai surat kabar dan majalah dengan suatu pendekatan anti Islam yang semakin memperkokoh kesalahpahaman umat manusia akan hakikat serta keadilan hukum Islam. Mengapa hal ini terjadi?

Sebab pokoknya adalah karena sebagian besar negeri-negeri yang menerapkan hukum-hukum Islam tidak memahami, apalagi mengaplikasikan syumuliyah (totalitas) ajaran Islam sebagai way of life atau minhaj al-hayah. Itulah alasannya mengapa penulis buku menganggap perlu menyisipkan bahasan yang diberi judul “Tidak ada Sektoralisasi dalam Hukum Islam.” Manakala Islam dipahami secara syamil, niscaya penerapan ajaran Islam akan mencakup tidak saja hukum pidana, melainkan juga pemberlakuan ideologi Islam di negara yang bersangkutan. Demikian pula berbagai aspek kehidupan lainnya, seperti di bidang politik, sosial budaya, ekonomi, pertahanan dan keamanan, serta hubungan internasional. Semua akan diselenggarakan berdasarkan dan sesuai nafas ajaran Allah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana, al-Islam. Adapun sekarang, apakah yang kita saksikan di tengah kebanyakan negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim? Di satu segi ada semangat untuk tetap memelihara warisan suci ajaran Islam, terutama di bidang ibadah praktis atau hukum pidana Islam, namun di sisi lain kita melihat bagaimana berbagai aspek kehidupan selepas itu diatur oleh ajaran-ajaran produk manusia yang sudah barang tentu mengandung banyak ketidaksempurnaan! Di satu sisi, semangat untuk memotong tangan sebagai sanksi bagi para pencuri terus ditumbuhkan, namun di sisi lain pengelolaan zakat sebagai landasan di dalam masyarakat tidak ditangani secara serius. Atau hukum rajam bagi para pezina ingin diterapkan, tetapi berbagai film-film seronok, majalah dan bacaan-bacaan cabul merambah dengan leluasa di tengah kaum muda umat. Inilah peringatan Allah yang jelas tertera dalam Al-Qur’an:

Apakah kamu beriman kepada sebagian al-kitab (Qur’an) dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang berbuat demikian daripadamu melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat. (QS. Al-Baqarah : 85)

Ajaran Islam bersifat syamil-kamil-mutakamil (menyeluruh, sempurna, dan saling menyempurnakan). Sedangkan Muslim memiliki al-qudrah al-juz’iyyah al-mahdudah (kemampuan sektoral dan terbatas). Oleh karenanya tidak mungkin Islam akan tertegak secara utuh manakala kaum muslimin menerapkannya secara individual. Ia mestilah diterapkan secara jama’i (kolektif). Harus ada suatu upaya ‘amal jama’i agar kesempurnaan Islam dapat terealisasi dalam kehidupan kolektif kaum Muslimin. Sedangkan kehidupan amal jama’i tidak akan mungkin terwujudkan dengan sempurna kecuali setelah terbentuknya sebuah tatanan dakwah yang memadai. Tatanan dakwah inilah yang merupakan fokus pembahasan penulis.

Maka di dalam fasal berikutnya penulis melanjutkan pembahasannya dengan menguraikan “langkah pertama Rasulullah SAW dalam Membina Jama’ah”. Setelah itu beliau membahas “Rambu-rambu dari sirah Nabi dalam Menegakkan Jama’ah” yang berisi enam karakteristik pokok sebuah jamaah, antara lain:
* Nasyr mabaadi’ ad-dakwah (menyebarkan prinsip-prinsip dakwah)
* At-takwin ‘alaa ad-dakwah (Pembentukan Dakwah)
* Al-mujabahah al-Musallahah (konfrontasi bersenjata)
* Al-sirriyah fi binaa’al-jamaah (sirriyah dalam membina jama’ah)
* Ash-shabru’ala al-adza (bersabar atas gangguan musuh)
* Al-Ib’aad ‘an saahah al-ma’rakah (menghindari medan pertempuran)

Kemudian bagian dua ditutup dengan membahas “Tabi’at Jalan Menuju Jama’atul Muslim”. Dan yang terpenting kita catat adalah berbagai contoh sepanjang perjalanan sejarah dakwah yang telah diuraikan secara baik sekali oleh al-Ustadz Husain Jabir.

Di dalam bahasan ketiga, penulis membahas bab berjudul “al-jama’ah al-Islamiyah al-‘Amilah fii Haql ad-Da’wah al-Islamiyyah” (beberapa Jamaah Islam di Medan Dakwah). Beliau mengangkat beberapa kasus dalam realitas dunia dakwah dewasa ini, sebelum langsung membahas satu per satu jamaah Islam yang ada, penulis mengawali tulisannya dengan fasal “Kondisi Amal Islami setelah Jatuhnya Khilafah Utsmaniyah”.

Penulis mengambil empat Jamaah sebagai sampel pembahasan. Masing-masing mewakili kecenderungan berbeda.

Pertama, Jama’ah Anshor as-Sunnah al-Muhammadiyah, berdiri dan berkembang di Mesir. Jama’ah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sosial dan ilmu pengetahuan (ijtimaiyyah wa ats-tsaqofah). Sering pula di sebut sebagi gerakan Salafi.

Kedua, Jama’ah Tabligh, yang lahir di India. Jamaah ini mewakili gerakan dakwah yang berorientasi pada seruan sufiyyah.

Ketiga, Jama’ah Hizb at-Tahrir yang lahir dan bermula di Yordania. Jamaah ini berorientasi pada seruan Politik (as-siyasi).

Keempat, Jama’ah al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan di Mesir. Penulis menganggap bahwa jamaah ini mewakili gerkan dakwah yang memiliki karakteristik Syamil (Menyeluruh). Tidak hanya memperhatikan aspek sosial dan ilmu pengetahuan semata, melainkan juga aspek sufiyyah dan aspek siasiyyah, bahkan juga meliputi aspek harakiyyah dan jihadiyyah (pergerakan dan Jihad). [Sumber: Dr. Salim Segaf al-Jufri, Kata Pengantar buku Menuju Jama'atul Muslimin]

http://www.dakwatuna.com/2011/05/12372/menuju-jamaatul-muslimin

Rabu, 25 Mei 2011

Welcome to My World: MUTLAQ DAN MUQAYYAD

Welcome to My World: MUTLAQ DAN MUQAYYAD

MUTLAQ DAN MUQAYYAD

MUTLAQ DAN MUQAYYAD


A. Pengertian:

- Mutlaq: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu.
Contoh: lafadz ” laki-laki/ رَجُل  ” yang menunjuk bukan pada seseorang tertentu.

Muqayyad: lafadz yang menunjuk pada satuan yang tidak tertentu tetapi lafadz itu dibarengi dengan sifat yang membatasi maksudya.

Contoh: ” laki-laki Basrah/ رَجُل بَصري ” atau ” laki-laki shalih/ رجل صالح  “

B. Kaidah Mutlaq:
lafadz mutlaq tetap dalam kemutlakannya hingg ada dalil yang membatasinya dari kemutlakan itu.
Contohnya: kata ” رقبة ” dalam surat al mujadilah: 4, lafadz ini bersifat mutlaq dalam arti bisa raqabah mukmin atau kafir.

Contoh lain: surat an nisa’: 11 tentang kewajiban wasiat, lafadz ” وصية ” dalam ayat ini sifatnya mutlaq, kemudian as sunnah memberikan batasan besarnya wasiat yakni sepertiga, berdasar HR Muttafaqun ‘Alaih.

C. Kaidah Muqayyad:
Wajib mengerjakan yang Muqayyad kecuali jika ada dalil yang membatalkannya.
Contoh:
firman Allah dalam surat al Mujadilah: 4 lafadz ” dua bulan/ شهرين ” adalah mutlak yang dibarengi dengan kata ” berturut-turut/ متتابيعين ” maka kemudian menjadi muqayyad, maka berpuasa disini harus dua bulan berturut-turut tidak boleh secara terpisah.



Selasa, 24 Mei 2011

Pendidikan, kinerja, dan pengembangan profesi dosen di Universitas*



Pendidikan, kinerja, dan pengembangan
profesi dosen di Universitas*

Bentuk keberadaan intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara,
yang merupakan gerak luar dan sementara saja dari perasaan,
namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis…….
(Antonio Gramsci)
A.   Pendahuluan
Dalam kegiatan pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) unsur yang amat menentukan tercapainya tujuan adalah mahasiswa dan dosen. Keberhasilan mahasiswa sebagai subjek belajar berkaitan dengan proses pribadi (individual process) dalam internalisasi pengetahuan, nilai, sifat, sikap, dan ketrampilan yang ada di sekitarnya. Sedangkan keberhasilan dosen sebagai subjek mengajar, selain ditentukan oleh kualitas dosen secara pribadi (individual quality), juga ditentukan oleh jumlah dosen, yang berkaitan dengan jumlah mahasiswa. Kuantitas mahasiswa turut menentukan jumlah kelas dan jumlah mata kuliah. Adapun standarisasi kualitas dosen, dilihat dari ijazah pendidikan terakhir, kualifikasi jabatan akademis dan pengalaman mengajar, pengalaman meneliti dan praktek pengabdian di masyarakat. Ukuran kualitas ini merupakan faktor-faktor penentu mutu belajar dan keberhasilan pendidikan.
Tantangan yang dihadapi sebagian besar perguruan tinggi Negeri atau Swasta di Indonesia adalah mutu dan kualifikasi akademik. Secara kualitas, tenaga pengajar PT terus meningkat melalui pendidikan lanjutan dan latihan-latihan. Namun proporsi mereka masih perlu ditingkatkan, sebagai contoh IKIP Bandung, masih di bawah 25%, yaitu 236 orang dari 1114 orang dosen pada bulan Juni 1992. Sebanyak 228 dosen diantaranya diangkat antara tahun 1987-1992, dan mereka adalah lulusan sarjana program baru. Sedangkan sisanya, 650 orang dosen adalah lulusan sarjana program  lima tahun.
Sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh konsorsium Ilmu Pendidikan, bahwa dalam praktek pendidikan para asisten yang secara akademis dan kewenangan belum memadai untuk mengajar, padahal mereka lebih sering berdiri di muka kelas. Fenomena ini terdapat pada hampir setiap PTN, Bambang Suwarno setelah meneliti delapan PTN di Indonesia menyimpulkan bahwa, "That the time allotted for school activities is inversely related to the degress. The higher the degree, the less time provided by dosen for teaching and consulting with student".[1]



B.   Dasar Pemikiran

Sebelum mendalami lebih jauh tentang pembahasan, sejenak menelisik pemikiran almarhum K.H. Abdurrahman Wachid tentang pendidikan di Indonesia. Ia mengatakan bahwa saat ini sangat penting dilakukan reorientasi pendidikan nasional, karena kenyataan yang ada masih terlalu mengikuti paham positivisme. Positivisme ini banyak aspek-aspek positif, tetapi juga terdapat kerugian-kerugian ketika kita meggunakan aliran positivisme. Diantara kerugian yang ditimbulkan adalah bahwa paham tersebut membuat perguruan tinggi kita terpisah dari masyarakat. Statemen ini menjadi kenyataan, betapa orang jika sudah punya gelar profesor atau doktor seakan-akan mempunyai ketrampilan yang luar biasa, walaupun kenyataannya tidak demikian. Mereka dalam realitanya tidak mempunyai daya tahan menggeluti perubahan-perubahan besar.[2]
Oleh karena itu, pendidikan nasional yang baru hendaknya diarahkan pada paradigma yang benar,  khususnya perguruan tinggi. Untuk mencapai hal tersebut perlu diingat dua pergulatan pemikiran yang selama ini sulit disatukan yaitu antara populisme dan elitisme. Lembaga pendidikan Indonesia selama ini lebih dekat kepada populisme rakyat. Elitisme menganggap bahwa rakyat tidak tahu apa-apa dan hanya mereka saja yang dapat menentukan nasib bangsa ini. Sikap elitis seperti ini layaknya tidak terjadi. Dan mulai dari sekarang yang mesti dilakukan adalah mengantisipasi hal tersebut dengan mensinergikan antara elitisme dan populisme dalam profesionalisme.[3] Oleh karenanya, pengembangan paradigma yang benar mengenai pendidikan nasional dengan bersandar pada profesionalisme yang mempunyai akar-akar populisme akan membuat pendidikan lebih baik di masa yang akan datang. 

C.   Definisi Pendidikan, kinerja, dan pentingnya pengembangan profesi guru dan dosen.
Ada beberapa istilah dalam karya ini yang perlu penulis sampaikan, diantaranya adalah definisi pendidikan, kinerja, dan profesi.
Kata Pendidikan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)) berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, perbuatan, cara mendidik;[4]. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; [5] Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu [6]
Presiden WCOTP (World Confederation of Organization of the Teaching Profession), Wilhem Ebert pada kongres guru sedunia XXVII di Jakarta mengatakan bahwa : "Apabila kita gagal menyediakan kualitas dan kita sendiri menjadi kualitas, apabila kita gagal dalam membalikkan arus birokrasi dan deprofesionalisasi sistem-sistem kita, apabila kita gagal dalam melengkapi generasi masa depan dengan penyelesaian untuk masa depan, maka kita akan lenyap. Dan, dapat saya tambahkan, sudah sepantasnyalah demikian."
Untuk menghindari bahaya-bahaya ini, hendaknya kembali memeriksa tanggung jawab dan pemahaman tentang pendidikan. Mengembalikan sikap perikemanusiaan dan dimensi spiritual kemanusiaan ke lembaga-lembaga pendidikan karena pengetahuan tanpa koreksi pribadi dan kritik batin merupakan ancaman berbahaya. Disamping itu kita memikul beban tanggung jawab utama atas transformasi orientasi "keakuan" anak didik menjadi orientasi "kekitaan".
Kesadaran dan mentalitas anak didik merupakan hal urgen untuk dipelihara dan pada waktu yang sama upaya untuk merangsang dan mendorong pertumbuhan sensitifitas social terus dilestarikan. Obsesi itu bias diterjemahkan dalam pemberian tauladan yang baik, mulai dari tata bahasa, pilihan kata, sikap, dan tindakan. Sehingga nilai-nilai itu tertanam dalam jiwa menjadi bagian integral manusia yang tumbuh dewasa. Secara jujur seorang pengajar hendaknya mempertanyakan posisi atau hubungannya dengan anak didik; apakah ibarat Tuhan terhadap makhluk, penguasa terhadap rakyat, penindas, atau teladan, dan sumber inspirasi. Apa yang ingin ditanamkan cita-cita yang dapat diterapkan dalam kehidupan, pragmatisme amoral, atau cara mempertahankan hidup sederhana, atau ideology yang dapat diterapkan dalam kehidupan penuh martabat? Apabila seorang pengajar memancarkan kepahitan, frustasi, sikap apatis, fanatisme, atau mengejar kepuasan, maka ia tidak berhak berdiri di depan kelas. Risiko menodai masa depan penyakit masa lampau dan masa kini terlalu besar.[7]

D.   Konsep manajemen pengembangan, pembinaan mutu guru dan dosen.

Dr. Sanusi Uwes, M.Pd. dalam bukunya Manajemen Pengembangan Mutu Dosen mengatakan : "Berdasarkan peran dan tanggung jawab serta ciri, pendukung dan kendala bagi upaya profesionalitas dosen, maka tugas manajemen pengembangan mutu dosen di universitas, tidak terbatas pada ha-hal yang berkaitan dengan pengembangan potensi individu dosen, tapi juga dituntut untuk berusaha melibatkan potensi tersebut secara penuh bagi pengembangan institusinya. Untuk mencapai tingkat profesionalisme dosen sebagaimana disebutkan diatas, treatment manajemen menurut Castetter terdiri dari perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelantikan (induction), penilaian (appraisal), pengembangan, kompensasi, tawar menawar, pengamanan dan kontinyuitas. Pada intinya dapat dibagi pada dua besaran kegiatan yakni perencanaan, rekrutmen, seleksi dan pengangkatan di satu segi, serta pembinaan yang meliput pembinaan dan pengembangan pada segi lain. Keterkaitannya dapat dilihat sebagaimana tercantum pada gambar berikut:



 










Gambar diatas adalah Tugas dan rangkaian Kegiatan Manajemen Personil



Bagan tersebut menunjukkan bahwa manajemen pengembangan mutu dosen, selain terutama membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bidang personil, juga khusus dalam menghadapi dosen diperlukan rangkaian kegiatan yang terus menerus tidak terputus."[8]
Menarik untuk dikemukakan, adalah pendapat Abdurrahman An-Nahlawi berkaitan dengan tanggung jawab seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan bahwa sifat dan persyaratan seorang pendidik adalah adanya sifat rabbany pada tujuan, perilaku dan pola fikir, kemudian ikhlas, sabar, jujur, membekali diri dengan ilmu dan menguasai teknis mengajar.[9]
Dalam hal kriteria mutu dosen IKIP merupakan hal yang penting untuk dikemukakan lebih dahulu. Dalam hal ini adalah: apakah ciri dosen yang bermutu?
Mutu dosen terletak pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dengan memenuhi kriteria pokok yakni keahlian penguasaan bidang studi dan keahlian penguasaan metodologi.

PENELITIAN
Karya ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh DR. Sanusi Uwes, M.Pd dalam rangka menyelesaikan program doktoralnya di Institut Keguruan dan Imu Pengetahuan (IKIP) Bandung, pada Maret 1995.
Teknik penelitian yang beliau lakukan adalah wawancara terbuka, observasi langsung dan subjek dokumen. Data yang dihasilkan melalui wawancara atau observasi dari satu subjek, setelah diinterpretasi peneliti, kemudian diperiksakan kembali pada subjek lain.
Sumber data penelitian adalah keadaan lingkungan objek penelitian, subjek-subjek yang terlibat kegiatan, kontak sosial maupun berbagai aspek sosial yang melingkupinya. Hal-hal tersebut diamati secara langsung, diwawancarai serta dibaca dan ditelaah oleh pikirannya, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Pengambilan  data bercorak pada simultaneous cross sectional atau member check (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subjek penelitian tidak diambil pada subjek yang sama, namun pada subjek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti melihat kecenderungan, pola, arah, interaksi, faktor-faktor serta hal-hal lainnnya yang memacu atau menghambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasaran unsur-unsur yang ada. Kebenaran yang dihasilkan, tidak didasarkan pada pertimbangan banyaknya individu rincian atau rerata subjek penelitian, namun pada cirri-ciri penting berbagai kategori kemudian menghubung-hubungkannya untuk menghasilkan inti teori yang dimunculkan.
Sumber data:
1.    Data tentang jumlah kebutuhan dosen berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, baik berupa surat, usulan pegawai, dan data-data dari direktorat jendral pendidikan tinggi Depdiknas Jakarta.
2.    Data yang berkaitan dengan kegiatan rekrutmen dan seleksi.
3.    Data mengenai kebijakan dan kegiatan rekrutmen dan seleksi.
4.    Data mengenai profil mutu dosen diperoleh melalui wawancara melalui senior, baik Guru Besar maupun yang belum, para pimpinan fakultas, jurusan, dll
Sumber data diambil secara purposive dimaksudkan untuk mendapatkan deskripsi secara keseluruhan bentuk yang ada di lapangan, supaya mendapatkan informasi maksimal mengenai unsur-unsur yang diteliti, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan generalisasi.
Para pimpinan dan dosen IKIP yang dijadikan sumber informasi tersebut merupakan IKIP Bandung dan Jakarta. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:

1.    Dilihat dari berdirinya, kedua IKIP tersebut merupakan IKIP yang dikategorikan IKIP Pembina mempunyai kelebihan di dalam manajemen pengembangan mutu dosen lebih banyak dibanding yang lain.
2.    Kedua IKIP tersebut memiliki program pendidikan yang lebih lengkap, yakni dari D3 sampai S3.
3.    Berdasarkan dua hal diatas, IKIP-IKIP tersebut memiliki lebih banyak variasi pengembangan ditambah dengan peluang yang lebih banyak berkomunikasi dengan lembaga-lembaga luarnya.

Dalam hal analisa data, penelitian ini terdapat dua corak analisis: pertama analisis saat mempertajam keabsahan data, melalui "simulataneous cross sectional", dan kedua melalui interpretasi pada data secara keseluruhan.[10]

Berdasarkan hasil-hasil penelitian DR. Sanusi Uwes, M.Pd. dikemukakan secara berturut-turut upaya manajemen mutu dosen, deskripsi mutu dosen, serta hasil belajar mahasiswa sebagai sisi output dari mutu dosen dalam berinteraksi dengan mahasiswa. Pola  dasar pengembangan dilaksanakan melalui dua macam kebijakan strategis, yakni kebijakan makro dan kebijakan kelembagaan, kebijakan makro diarahkan pada:
1.    Pemantapan peran IKIP dalam mengembangkan pendidikan guru dan profesi kependidikan.
2.    Peningkatan peran IKIP dalam menyediakan kesempatan pendidikan bagi semua warga Indonesia.
3.    Penciptaan peluang dan pendorong civitas akademika dalam penguasaan sains dan teknologi.
4.    Pengembangan wawasan dan orientasi global dalam menanggapi masalah global yang mempengaruhi kehidupan manusia secara global.

Adapun kebijakan kelembagaan diarahkan kepada:
1.    Menumbuh-kembangkan kehidupan keimanan dan ketakwaan.
2.    Melaksanakan pembaharuan kurikulum.
3.    Meningkatkan kemampuan manajemen.
4.    Mengembangkan mutu personil.
5.    Mengembangkan potensi, kreativitas, minat dan bakat mahasiswa.
6.    Menyempurnakan rancangan, penataan, dan pemanfaatan fasilitas, peralatan dan teknologi pendidikan.
7.    Mengembangkan mutu penelitian.
8.    Mengembangkan pendidikan guru pendidikan dasar, serta
9.    Meningkatkan kredibilitas kepemimpinan dan kerjasama nasional dan internasional.
Kesembilan butir kebijakan kelembagaan tersebut diatas adalah prioritas program unit kegiatan, baik unit kegiatan tingkat institute, fakultas, lembaga-lembaga, maupun jurusan-jurusan. Namun dalam tulisan ini difokuskan manajemen  pengembangan mutu dosen dan guru yang berkaitan dengan pengadaan tenaga dosen, rekrutmen dan seleksi, serta pengangkatan dan penugasan. Sementara dalam hal pembinaan dan pengembangan, diarahkan pada upaya-upaya peningkatan mutu profesionalitas dosen yakni melalui:
a.    Program latihan Prajabatan (Prajab)
b.    Peningkatan keahlian melalui studi lanjut gelar
c.    Studi lanjut non gelar
d.    Penataran/lokakarya
e.    Pengembangan staf melalui peningkatan pertemuan-pertemuan  ilmiah
f.     Pengembangan staf melalui peningkatan mutu penelitian
g.    Pengembangan ketrampilan pengabdian pada masyarakat
h.    Serta penugasan- penugasan.

Pendidikan lanjut non gelar dosen IKIP,  diarahkan kepada peningkatan kemampuan profesional, pengembangan dan penyegaran wawasan keilmuan. Bentuk kegiatannya berupa penataran, lokakarya, atau pelatihan singkat di dalam dan luar negeri. Kreativitas dan kemampuan bersaing sesama dosen IKIP, merupakan hal yang sangat membutuhkan.
            Tingkat mutu pelaksanaan pengajaran banyak ditentukan kesadaran dan usaha pribadi dosen (self effort) menyerap informasi baru, usaha transformasi dan sikap keilmuan, usaha menguasai bahan dan mendorong kemajuan belajar mahasiswa secara terus menerus. Sementara itu, baik di IKIP Bandung maupun IKIP Jakarta, intensitas PBM (proses belajar mengajar) di kelas relatif tinggi. Namun demikian, intensitas kehadiran individual dosen, menunjukkan adanya keterikatan dengan gelar akademik dan kesibukan di luar IKIP.
            Minat dosen IKIP Bandung dan IKIP Jakarta, dalam melaksanakan penelitian pada tiga tahun sangat tinggi. Hal ini ditunjang oleh ketersediaan dana, keperluan memenuhi persyaratan kenaikan jabatan fungsional, dukungan manajemen dan khusus bagi para dosen IKIP Bandung adanya kemampuan membiayai kegiatan penelitian secara individual.
            Laporan hasil penelitian yang bermutu, dihasilkan oleh dosen yang memiliki intensitas pengalaman meneliti yang tinggi.[11]

E.   Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh DR. Sanusi Uwes, M.Pd. terdiri atas 11 butir.
1.    Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi proses manajemen IKIP bandung dan IKIP Jakarta, adalah ketrampilan memanfaatkan peluang, sifat pragmatis dalam pengorganisasian, serta sistem penugasan yang bersifat keseimbangan dan pemerataan, disamping kontrol utuh yang lebih bersifat formalitas administratif.
2.    Berdasarkan faktor-faktor dominan tersebut, manajemen IKIP telah berhasil mempertinggi rasio dosen-mahasiswa, mempertahankan tingkat kelulusan latihan prajabatan dengan tingkat keberhasilan hampir mencapai rata-rata 100%, merubah struktur pendidikan dosen ke arah yang lebih baik, membentuk iklim akademik yang lebih merata, dan etos kerja yang lebih dedikatif.
3.    Ketersediaan sumber daya yang ada pada tahun-tahun terakhir menunjukkan kualifikasi tinggi dalam pengangkatan dosen baru, serta sifat kolegalitas para eksekutif manajemen, memfasilitasi usaha pelaksanaan Tri Dharma dan merupakan cirri khas manajemen pengembangan mutu dosen IKIP.
4.    Tantangan manajemen IKIP dalam mengembangkan mutu dosennya adalah sikap formalitas administratif, yang mendorong intervensi langsung manajemen tingkat institut kepada dosen-dosen di jurusan. Dalam penggunaan fasilitas pengembangan mutu dosen mengalami perubahan pertimbangan. Dari pertimbangan mengutamakan masa kerja, ke pertimbangan kompetisi, khususnya dalam hal pemanfaatan peluang studi lanjut gelar, penataran di luar negeri dan pemanfaatan peluang penelitian.
5.    Faktor-faktor dominan, yang mempengaruhi mutu dosen IKIP Bandung dan Jakarta adalah sistem kontrol, studi mandiri, tingkat kemampuan berkompetisi, semangat survival dan kemampuan membaca dan memahami perkembangan ilmu secara tepat dan cepat.
6.    Mutu pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, memiliki keragaman. Terartikulasikan dalam bentuk:
a.    Legalitas referensi melalui publikasi buku-buku bidang ilmu
b.    Pencetus ide-ide baru berdasarkan teori dan konsep pendidikan yang telah terpublikasikan.
7.    Keragaman intensitas bahan ajar yang direfleksikan dalam bentuk:
a.    Keberanian dan kemampuan berkomunikasi,
b.    Kreativitas dan kepekatanggapan menggunakan  peluang yang disediakan institusi
c.    persiapan,pengambangan, dan penguasaan bidang studi
8.    Dalam proses pembelajaran mahasiswa, sebagai implikasi keragaman mutu dan jenis penguasaan bahan ajar tersebut, ragam dimensi yang muncul adalah dosen sebagai berikut:
a.    Berorientasi pada the spirit of learning,
b.    Lebih berorientasi pada dorongan bagi mahasiswa untuk menggali dan menguasai bahan ajar secara mandiri maupun kelompok melalui evaluasi ketrampilan pembuatan makalah atau resume bacaan
c.    Lebih berorientasi pada memunculkan kreasi atau pikiran baru (speculative thinking) yang berkaitan dengan pelaksanaan teori pendidikan di masyarakat
d.    Dosen yang lebih berorientasi pada transfer of knowledge dengan orientasi teknik evaluasi kognitif
9.    Dalam hal mutu penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terdapat kecenderungan pengulangan dan legitimasi terhadap teori yang sudah ada, belum menemukan teori baru pendidikan khas Indonesia
10. Faktor dominan yang mempengaruhi hasil belajar mahasiswa adalah disiplin belajar keterbukaan sikap dosen terhadap mahasiswa, keterbukaan sikap dosen terhadap mahasiswa dalam hal-hal yang berkaitan dengan konsep-konsep keilmuan, keteladanan dalam ketrampilan berpikir, suasana lingkungan belajar dan keberanian mandiri.
11. Berdasarkan faktor dominan tersebut, karakteristik belajar mahasiswa IKIP cenderung bersifat penyerapan informasi, kurang memasalahkan temuan buku teks maupun kehidupan sosial.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan tersebut, faktor-faktor yang saling menunjang manajemen pengembangan mutu dosen IKIP, dapat disarikan kepada tiga faktor utama: manajemen, organisasi, dan karakter personal. Manajemen dalam hal ini adalah bentuk-bentuk kebijakan, jenis program, dan teknis pelaksanaan tugas. Sementara organisasi dalam bentuk tugas, tujuan, fungsi, dan peran, yang dimainkannya. Sedangkan karakter personal terdiri atas hal-hal yang mengenai kemampuan awal, motif, dan cita-cita, etos kerja serta keterikatan pada tugas dosen.[12]
Dalam perjalanannya, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kini telah disosialisasikan dalam implementasinya. Sebelum menjadi undang-undang, terutama dalam masa pembahasannya dalam panitia kerja DPR bersama Pemerintah timbul pro dan Kontra dalam masyarakat. Undang-undang Guru dan Dosen atau UUGD dibentuk sesuai dengan semangat Undang-undang Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) yang menganut paradigma bahwa pendidikan adalah sektor publik yang merupakan tugas Negara mencerdaskan kehidupan bangsa, namun terbuka bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Artinya publik dengan berdasarkan potensi, bakat dan minatnya serta kemampuan penalaran individual yang didukung oleh akhlaq yang mulia, maka setiap indvidu memiliki akses secara demokratis untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.[13]
Dalam hal ini kaitannya dengan kinerja, pengembangan profesi guru dan dosen tidak terlepas dari UU Guru dan Dosen. Karena peran pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dosen dan guru sangat diperlukan. Sehingga pada masa depan, dosen dan guru memiliki profil baru, yang berbeda dengan profil masa lalu. Profil baru yang dimaksud adalah bahwa guru dan dosen itu adalah seorang idealis, profesional, dan sejahtera. Idealis dimaksudkan bahwa menjadi guru atau dosen adalah karena panggilan jiwa dan mengutamakan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Profesional diartikan bahwa guru dan dosen itu menjadikan pekerjaannya sebagai sumber penghasilan kehidupan, dengan berdasarkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, setelah melalui pendidikan profesi. Dengan pekerjaan sebagai pendidik profesional itu, maka guru dan dosen bersama keluarganya itu hidup sejahtera dan bermartabat dengan penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum.





Kepustakaan:

1.    Al-Nahlawi, Abdurachman. (1989). Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro.
2.    Anwar Arifin. (2007). Profil Baru Guru dan Dosen di Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
3.    Sanusi Uwes. (1999). Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
4.    Esha, Muhammad In'am. (2006). Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam Sosial Keagamaan. Jakarta
5.    Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1991). Kamus Besar bahasa Indonesia edisi II. Jakarta: Balai Pustaka.
6.    Pengurus Besar PGRI. (1978). Profesi Guru Menyongsong Dunia Hari Esok. Kongres Guru sedunia ke-27 di Jakarta.


* oleh: Muhamad Syadid (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Tingkat III Universitas al-Azhar Kairo). No. Pendidikan: 7625.
1 Lihat lebih jauh: DR. Sanusi Uwes, M.Pd. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, cet. 1, 1999. Hal. 3.
[2]  Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam Sosial Keagamaan. Pengantar Prof.Dr. H. Imam Suprayogo. Penyunting, Muhammad In'am Esha M.Ag, Cet II, Juni 2006, hal 2.
3  Ibid hal 3.
4  Tim penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi II. Balai Pustaka, Jakarta, Cet. I, 1991. Hal. 232.
5  Ibid hal. 503.
6  Ibid hal. 789.
7  Profesi Guru Menyongsong Dunia Hari Esok. Konggres Guru sedunia ke-27 Jakarta, 26 Juli- 2 Agustus 1978. Pengurus besar PGRI 1978, hal. 27-28.

8  Lihat lebih jauh: DR. Sanusi Uwes, M.Pd. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, cet. 1, 1999, Hal. 15.  
9  Abdurrachman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan metode Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung, hal. 239-246.

[10]  DR. Sanusi Uwes, M.Pd. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, cet. 1, 1999, Hal. 15. Hal. 69-78.
[11]  Ibid hal. 237.
[12]  Ibid hal. 267-270.
[13]  Prof. DR. Anwar Arifin, Profil Baru Guru dan Dosen Indonesia, Pustaka Indonesia, Jakarta, 2007 hal. 79-80.