Pendidikan, kinerja, dan pengembangan
Bentuk keberadaan intelektual tidak bisa lagi terdapat pada kefasihan berbicara,
yang merupakan gerak luar dan sementara saja dari perasaan,
namun dalam partisipasi aktif dalam kehidupan praktis…….
(Antonio Gramsci)
A. Pendahuluan
Dalam kegiatan pendidikan di Perguruan Tinggi (PT) unsur yang amat menentukan tercapainya tujuan adalah mahasiswa dan dosen. Keberhasilan mahasiswa sebagai subjek belajar berkaitan dengan proses pribadi (individual process) dalam internalisasi pengetahuan, nilai, sifat, sikap, dan ketrampilan yang ada di sekitarnya. Sedangkan keberhasilan dosen sebagai subjek mengajar, selain ditentukan oleh kualitas dosen secara pribadi (individual quality), juga ditentukan oleh jumlah dosen, yang berkaitan dengan jumlah mahasiswa. Kuantitas mahasiswa turut menentukan jumlah kelas dan jumlah mata kuliah. Adapun standarisasi kualitas dosen, dilihat dari ijazah pendidikan terakhir, kualifikasi jabatan akademis dan pengalaman mengajar, pengalaman meneliti dan praktek pengabdian di masyarakat. Ukuran kualitas ini merupakan faktor-faktor penentu mutu belajar dan keberhasilan pendidikan.
Tantangan yang dihadapi sebagian besar perguruan tinggi Negeri atau Swasta di Indonesia adalah mutu dan kualifikasi akademik. Secara kualitas, tenaga pengajar PT terus meningkat melalui pendidikan lanjutan dan latihan-latihan. Namun proporsi mereka masih perlu ditingkatkan, sebagai contoh IKIP Bandung, masih di bawah 25%, yaitu 236 orang dari 1114 orang dosen pada bulan Juni 1992. Sebanyak 228 dosen diantaranya diangkat antara tahun 1987-1992, dan mereka adalah lulusan sarjana program baru. Sedangkan sisanya, 650 orang dosen adalah lulusan sarjana program lima tahun.
Sesuai dengan apa yang dihasilkan oleh konsorsium Ilmu Pendidikan, bahwa dalam praktek pendidikan para asisten yang secara akademis dan kewenangan belum memadai untuk mengajar, padahal mereka lebih sering berdiri di muka kelas. Fenomena ini terdapat pada hampir setiap PTN, Bambang Suwarno setelah meneliti delapan PTN di Indonesia menyimpulkan bahwa, "That the time allotted for school activities is inversely related to the degress. The higher the degree, the less time provided by dosen for teaching and consulting with student".[1]
B. Dasar Pemikiran
Sebelum mendalami lebih jauh tentang pembahasan, sejenak menelisik pemikiran almarhum K.H. Abdurrahman Wachid tentang pendidikan di Indonesia. Ia mengatakan bahwa saat ini sangat penting dilakukan reorientasi pendidikan nasional, karena kenyataan yang ada masih terlalu mengikuti paham positivisme. Positivisme ini banyak aspek-aspek positif, tetapi juga terdapat kerugian-kerugian ketika kita meggunakan aliran positivisme. Diantara kerugian yang ditimbulkan adalah bahwa paham tersebut membuat perguruan tinggi kita terpisah dari masyarakat. Statemen ini menjadi kenyataan, betapa orang jika sudah punya gelar profesor atau doktor seakan-akan mempunyai ketrampilan yang luar biasa, walaupun kenyataannya tidak demikian. Mereka dalam realitanya tidak mempunyai daya tahan menggeluti perubahan-perubahan besar.[2]
Oleh karena itu, pendidikan nasional yang baru hendaknya diarahkan pada paradigma yang benar, khususnya perguruan tinggi. Untuk mencapai hal tersebut perlu diingat dua pergulatan pemikiran yang selama ini sulit disatukan yaitu antara populisme dan elitisme. Lembaga pendidikan Indonesia selama ini lebih dekat kepada populisme rakyat. Elitisme menganggap bahwa rakyat tidak tahu apa-apa dan hanya mereka saja yang dapat menentukan nasib bangsa ini. Sikap elitis seperti ini layaknya tidak terjadi. Dan mulai dari sekarang yang mesti dilakukan adalah mengantisipasi hal tersebut dengan mensinergikan antara elitisme dan populisme dalam profesionalisme.[3] Oleh karenanya, pengembangan paradigma yang benar mengenai pendidikan nasional dengan bersandar pada profesionalisme yang mempunyai akar-akar populisme akan membuat pendidikan lebih baik di masa yang akan datang.
C. Definisi Pendidikan, kinerja, dan pentingnya pengembangan profesi guru dan dosen.
Ada beberapa istilah dalam karya ini yang perlu penulis sampaikan, diantaranya adalah definisi pendidikan, kinerja, dan profesi.
Kata Pendidikan (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)) berarti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan; proses, perbuatan, cara mendidik;[4]. Kinerja adalah sesuatu yang dicapai; prestasi yang diperlihatkan; [5] Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu [6]
Presiden WCOTP (World Confederation of Organization of the Teaching Profession), Wilhem Ebert pada kongres guru sedunia XXVII di Jakarta mengatakan bahwa : "Apabila kita gagal menyediakan kualitas dan kita sendiri menjadi kualitas, apabila kita gagal dalam membalikkan arus birokrasi dan deprofesionalisasi sistem-sistem kita, apabila kita gagal dalam melengkapi generasi masa depan dengan penyelesaian untuk masa depan, maka kita akan lenyap. Dan, dapat saya tambahkan, sudah sepantasnyalah demikian."
Untuk menghindari bahaya-bahaya ini, hendaknya kembali memeriksa tanggung jawab dan pemahaman tentang pendidikan. Mengembalikan sikap perikemanusiaan dan dimensi spiritual kemanusiaan ke lembaga-lembaga pendidikan karena pengetahuan tanpa koreksi pribadi dan kritik batin merupakan ancaman berbahaya. Disamping itu kita memikul beban tanggung jawab utama atas transformasi orientasi "keakuan" anak didik menjadi orientasi "kekitaan".
Kesadaran dan mentalitas anak didik merupakan hal urgen untuk dipelihara dan pada waktu yang sama upaya untuk merangsang dan mendorong pertumbuhan sensitifitas social terus dilestarikan. Obsesi itu bias diterjemahkan dalam pemberian tauladan yang baik, mulai dari tata bahasa, pilihan kata, sikap, dan tindakan. Sehingga nilai-nilai itu tertanam dalam jiwa menjadi bagian integral manusia yang tumbuh dewasa. Secara jujur seorang pengajar hendaknya mempertanyakan posisi atau hubungannya dengan anak didik; apakah ibarat Tuhan terhadap makhluk, penguasa terhadap rakyat, penindas, atau teladan, dan sumber inspirasi. Apa yang ingin ditanamkan cita-cita yang dapat diterapkan dalam kehidupan, pragmatisme amoral, atau cara mempertahankan hidup sederhana, atau ideology yang dapat diterapkan dalam kehidupan penuh martabat? Apabila seorang pengajar memancarkan kepahitan, frustasi, sikap apatis, fanatisme, atau mengejar kepuasan, maka ia tidak berhak berdiri di depan kelas. Risiko menodai masa depan penyakit masa lampau dan masa kini terlalu besar.[7]
D. Konsep manajemen pengembangan, pembinaan mutu guru dan dosen.
Dr. Sanusi Uwes, M.Pd. dalam bukunya Manajemen Pengembangan Mutu Dosen mengatakan : "Berdasarkan peran dan tanggung jawab serta ciri, pendukung dan kendala bagi upaya profesionalitas dosen, maka tugas manajemen pengembangan mutu dosen di universitas, tidak terbatas pada ha-hal yang berkaitan dengan pengembangan potensi individu dosen, tapi juga dituntut untuk berusaha melibatkan potensi tersebut secara penuh bagi pengembangan institusinya. Untuk mencapai tingkat profesionalisme dosen sebagaimana disebutkan diatas, treatment manajemen menurut Castetter terdiri dari perencanaan, rekrutmen, seleksi, pelantikan (induction), penilaian (appraisal), pengembangan, kompensasi, tawar menawar, pengamanan dan kontinyuitas. Pada intinya dapat dibagi pada dua besaran kegiatan yakni perencanaan, rekrutmen, seleksi dan pengangkatan di satu segi, serta pembinaan yang meliput pembinaan dan pengembangan pada segi lain. Keterkaitannya dapat dilihat sebagaimana tercantum pada gambar berikut:
Gambar diatas adalah Tugas dan rangkaian Kegiatan Manajemen Personil
Bagan tersebut menunjukkan bahwa manajemen pengembangan mutu dosen, selain terutama membuat perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan bidang personil, juga khusus dalam menghadapi dosen diperlukan rangkaian kegiatan yang terus menerus tidak terputus."[8]
Menarik untuk dikemukakan, adalah pendapat Abdurrahman An-Nahlawi berkaitan dengan tanggung jawab seorang pendidik dalam melaksanakan tugasnya. Beliau menyatakan bahwa sifat dan persyaratan seorang pendidik adalah adanya sifat rabbany pada tujuan, perilaku dan pola fikir, kemudian ikhlas, sabar, jujur, membekali diri dengan ilmu dan menguasai teknis mengajar.[9]
Dalam hal kriteria mutu dosen IKIP merupakan hal yang penting untuk dikemukakan lebih dahulu. Dalam hal ini adalah: apakah ciri dosen yang bermutu?
Mutu dosen terletak pada pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya dengan memenuhi kriteria pokok yakni keahlian penguasaan bidang studi dan keahlian penguasaan metodologi.
PENELITIAN
Karya ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh DR. Sanusi Uwes, M.Pd dalam rangka menyelesaikan program doktoralnya di Institut Keguruan dan Imu Pengetahuan (IKIP) Bandung, pada Maret 1995.
Teknik penelitian yang beliau lakukan adalah wawancara terbuka, observasi langsung dan subjek dokumen. Data yang dihasilkan melalui wawancara atau observasi dari satu subjek, setelah diinterpretasi peneliti, kemudian diperiksakan kembali pada subjek lain.
Sumber data penelitian adalah keadaan lingkungan objek penelitian, subjek-subjek yang terlibat kegiatan, kontak sosial maupun berbagai aspek sosial yang melingkupinya. Hal-hal tersebut diamati secara langsung, diwawancarai serta dibaca dan ditelaah oleh pikirannya, baik dalam bentuk tulisan maupun lisan. Pengambilan data bercorak pada simultaneous cross sectional atau member check (dalam arti berbagai kegiatan kelakuan subjek penelitian tidak diambil pada subjek yang sama, namun pada subjek yang berbeda), kemudian diinterpretasi berdasarkan kemampuan peneliti melihat kecenderungan, pola, arah, interaksi, faktor-faktor serta hal-hal lainnnya yang memacu atau menghambat perubahan untuk merumuskan hubungan baru berdasaran unsur-unsur yang ada. Kebenaran yang dihasilkan, tidak didasarkan pada pertimbangan banyaknya individu rincian atau rerata subjek penelitian, namun pada cirri-ciri penting berbagai kategori kemudian menghubung-hubungkannya untuk menghasilkan inti teori yang dimunculkan.
Sumber data:
1. Data tentang jumlah kebutuhan dosen berdasarkan dokumen-dokumen yang ada, baik berupa surat, usulan pegawai, dan data-data dari direktorat jendral pendidikan tinggi Depdiknas Jakarta.
2. Data yang berkaitan dengan kegiatan rekrutmen dan seleksi.
3. Data mengenai kebijakan dan kegiatan rekrutmen dan seleksi.
4. Data mengenai profil mutu dosen diperoleh melalui wawancara melalui senior, baik Guru Besar maupun yang belum, para pimpinan fakultas, jurusan, dll
Sumber data diambil secara purposive dimaksudkan untuk mendapatkan deskripsi secara keseluruhan bentuk yang ada di lapangan, supaya mendapatkan informasi maksimal mengenai unsur-unsur yang diteliti, dan tidak dimaksudkan untuk mendapatkan generalisasi.
Para pimpinan dan dosen IKIP yang dijadikan sumber informasi tersebut merupakan IKIP Bandung dan Jakarta. Berdasarkan alasan-alasan sebagai berikut:
1. Dilihat dari berdirinya, kedua IKIP tersebut merupakan IKIP yang dikategorikan IKIP Pembina mempunyai kelebihan di dalam manajemen pengembangan mutu dosen lebih banyak dibanding yang lain.
2. Kedua IKIP tersebut memiliki program pendidikan yang lebih lengkap, yakni dari D3 sampai S3.
3. Berdasarkan dua hal diatas, IKIP-IKIP tersebut memiliki lebih banyak variasi pengembangan ditambah dengan peluang yang lebih banyak berkomunikasi dengan lembaga-lembaga luarnya.
Dalam hal analisa data, penelitian ini terdapat dua corak analisis: pertama analisis saat mempertajam keabsahan data, melalui "simulataneous cross sectional", dan kedua melalui interpretasi pada data secara keseluruhan.[10]
Berdasarkan hasil-hasil penelitian DR. Sanusi Uwes, M.Pd. dikemukakan secara berturut-turut upaya manajemen mutu dosen, deskripsi mutu dosen, serta hasil belajar mahasiswa sebagai sisi output dari mutu dosen dalam berinteraksi dengan mahasiswa. Pola dasar pengembangan dilaksanakan melalui dua macam kebijakan strategis, yakni kebijakan makro dan kebijakan kelembagaan, kebijakan makro diarahkan pada:
1. Pemantapan peran IKIP dalam mengembangkan pendidikan guru dan profesi kependidikan.
2. Peningkatan peran IKIP dalam menyediakan kesempatan pendidikan bagi semua warga Indonesia.
3. Penciptaan peluang dan pendorong civitas akademika dalam penguasaan sains dan teknologi.
4. Pengembangan wawasan dan orientasi global dalam menanggapi masalah global yang mempengaruhi kehidupan manusia secara global.
Adapun kebijakan kelembagaan diarahkan kepada:
1. Menumbuh-kembangkan kehidupan keimanan dan ketakwaan.
2. Melaksanakan pembaharuan kurikulum.
3. Meningkatkan kemampuan manajemen.
4. Mengembangkan mutu personil.
5. Mengembangkan potensi, kreativitas, minat dan bakat mahasiswa.
6. Menyempurnakan rancangan, penataan, dan pemanfaatan fasilitas, peralatan dan teknologi pendidikan.
7. Mengembangkan mutu penelitian.
8. Mengembangkan pendidikan guru pendidikan dasar, serta
9. Meningkatkan kredibilitas kepemimpinan dan kerjasama nasional dan internasional.
Kesembilan butir kebijakan kelembagaan tersebut diatas adalah prioritas program unit kegiatan, baik unit kegiatan tingkat institute, fakultas, lembaga-lembaga, maupun jurusan-jurusan. Namun dalam tulisan ini difokuskan manajemen pengembangan mutu dosen dan guru yang berkaitan dengan pengadaan tenaga dosen, rekrutmen dan seleksi, serta pengangkatan dan penugasan. Sementara dalam hal pembinaan dan pengembangan, diarahkan pada upaya-upaya peningkatan mutu profesionalitas dosen yakni melalui:
a. Program latihan Prajabatan (Prajab)
b. Peningkatan keahlian melalui studi lanjut gelar
c. Studi lanjut non gelar
d. Penataran/lokakarya
e. Pengembangan staf melalui peningkatan pertemuan-pertemuan ilmiah
f. Pengembangan staf melalui peningkatan mutu penelitian
g. Pengembangan ketrampilan pengabdian pada masyarakat
h. Serta penugasan- penugasan.
Pendidikan lanjut non gelar dosen IKIP, diarahkan kepada peningkatan kemampuan profesional, pengembangan dan penyegaran wawasan keilmuan. Bentuk kegiatannya berupa penataran, lokakarya, atau pelatihan singkat di dalam dan luar negeri. Kreativitas dan kemampuan bersaing sesama dosen IKIP, merupakan hal yang sangat membutuhkan.
Tingkat mutu pelaksanaan pengajaran banyak ditentukan kesadaran dan usaha pribadi dosen (self effort) menyerap informasi baru, usaha transformasi dan sikap keilmuan, usaha menguasai bahan dan mendorong kemajuan belajar mahasiswa secara terus menerus. Sementara itu, baik di IKIP Bandung maupun IKIP Jakarta, intensitas PBM (proses belajar mengajar) di kelas relatif tinggi. Namun demikian, intensitas kehadiran individual dosen, menunjukkan adanya keterikatan dengan gelar akademik dan kesibukan di luar IKIP.
Minat dosen IKIP Bandung dan IKIP Jakarta, dalam melaksanakan penelitian pada tiga tahun sangat tinggi. Hal ini ditunjang oleh ketersediaan dana, keperluan memenuhi persyaratan kenaikan jabatan fungsional, dukungan manajemen dan khusus bagi para dosen IKIP Bandung adanya kemampuan membiayai kegiatan penelitian secara individual.
Laporan hasil penelitian yang bermutu, dihasilkan oleh dosen yang memiliki intensitas pengalaman meneliti yang tinggi.[11]
E. Kesimpulan
Kesimpulan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh DR. Sanusi Uwes, M.Pd. terdiri atas 11 butir.
1. Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi proses manajemen IKIP bandung dan IKIP Jakarta, adalah ketrampilan memanfaatkan peluang, sifat pragmatis dalam pengorganisasian, serta sistem penugasan yang bersifat keseimbangan dan pemerataan, disamping kontrol utuh yang lebih bersifat formalitas administratif.
2. Berdasarkan faktor-faktor dominan tersebut, manajemen IKIP telah berhasil mempertinggi rasio dosen-mahasiswa, mempertahankan tingkat kelulusan latihan prajabatan dengan tingkat keberhasilan hampir mencapai rata-rata 100%, merubah struktur pendidikan dosen ke arah yang lebih baik, membentuk iklim akademik yang lebih merata, dan etos kerja yang lebih dedikatif.
3. Ketersediaan sumber daya yang ada pada tahun-tahun terakhir menunjukkan kualifikasi tinggi dalam pengangkatan dosen baru, serta sifat kolegalitas para eksekutif manajemen, memfasilitasi usaha pelaksanaan Tri Dharma dan merupakan cirri khas manajemen pengembangan mutu dosen IKIP.
4. Tantangan manajemen IKIP dalam mengembangkan mutu dosennya adalah sikap formalitas administratif, yang mendorong intervensi langsung manajemen tingkat institut kepada dosen-dosen di jurusan. Dalam penggunaan fasilitas pengembangan mutu dosen mengalami perubahan pertimbangan. Dari pertimbangan mengutamakan masa kerja, ke pertimbangan kompetisi, khususnya dalam hal pemanfaatan peluang studi lanjut gelar, penataran di luar negeri dan pemanfaatan peluang penelitian.
5. Faktor-faktor dominan, yang mempengaruhi mutu dosen IKIP Bandung dan Jakarta adalah sistem kontrol, studi mandiri, tingkat kemampuan berkompetisi, semangat survival dan kemampuan membaca dan memahami perkembangan ilmu secara tepat dan cepat.
6. Mutu pelaksanaan pendidikan dan pengajaran, memiliki keragaman. Terartikulasikan dalam bentuk:
a. Legalitas referensi melalui publikasi buku-buku bidang ilmu
b. Pencetus ide-ide baru berdasarkan teori dan konsep pendidikan yang telah terpublikasikan.
7. Keragaman intensitas bahan ajar yang direfleksikan dalam bentuk:
a. Keberanian dan kemampuan berkomunikasi,
b. Kreativitas dan kepekatanggapan menggunakan peluang yang disediakan institusi
c. persiapan,pengambangan, dan penguasaan bidang studi
8. Dalam proses pembelajaran mahasiswa, sebagai implikasi keragaman mutu dan jenis penguasaan bahan ajar tersebut, ragam dimensi yang muncul adalah dosen sebagai berikut:
a. Berorientasi pada the spirit of learning,
b. Lebih berorientasi pada dorongan bagi mahasiswa untuk menggali dan menguasai bahan ajar secara mandiri maupun kelompok melalui evaluasi ketrampilan pembuatan makalah atau resume bacaan
c. Lebih berorientasi pada memunculkan kreasi atau pikiran baru (speculative thinking) yang berkaitan dengan pelaksanaan teori pendidikan di masyarakat
d. Dosen yang lebih berorientasi pada transfer of knowledge dengan orientasi teknik evaluasi kognitif
9. Dalam hal mutu penelitian dan pengabdian pada masyarakat, terdapat kecenderungan pengulangan dan legitimasi terhadap teori yang sudah ada, belum menemukan teori baru pendidikan khas Indonesia
10. Faktor dominan yang mempengaruhi hasil belajar mahasiswa adalah disiplin belajar keterbukaan sikap dosen terhadap mahasiswa, keterbukaan sikap dosen terhadap mahasiswa dalam hal-hal yang berkaitan dengan konsep-konsep keilmuan, keteladanan dalam ketrampilan berpikir, suasana lingkungan belajar dan keberanian mandiri.
11. Berdasarkan faktor dominan tersebut, karakteristik belajar mahasiswa IKIP cenderung bersifat penyerapan informasi, kurang memasalahkan temuan buku teks maupun kehidupan sosial.
Berdasarkan butir-butir kesimpulan tersebut, faktor-faktor yang saling menunjang manajemen pengembangan mutu dosen IKIP, dapat disarikan kepada tiga faktor utama: manajemen, organisasi, dan karakter personal. Manajemen dalam hal ini adalah bentuk-bentuk kebijakan, jenis program, dan teknis pelaksanaan tugas. Sementara organisasi dalam bentuk tugas, tujuan, fungsi, dan peran, yang dimainkannya. Sedangkan karakter personal terdiri atas hal-hal yang mengenai kemampuan awal, motif, dan cita-cita, etos kerja serta keterikatan pada tugas dosen.[12]
Dalam perjalanannya, UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kini telah disosialisasikan dalam implementasinya. Sebelum menjadi undang-undang, terutama dalam masa pembahasannya dalam panitia kerja DPR bersama Pemerintah timbul pro dan Kontra dalam masyarakat. Undang-undang Guru dan Dosen atau UUGD dibentuk sesuai dengan semangat Undang-undang Sisdiknas (UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional) yang menganut paradigma bahwa pendidikan adalah sektor publik yang merupakan tugas Negara mencerdaskan kehidupan bangsa, namun terbuka bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pendidikan. Artinya publik dengan berdasarkan potensi, bakat dan minatnya serta kemampuan penalaran individual yang didukung oleh akhlaq yang mulia, maka setiap indvidu memiliki akses secara demokratis untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu.[13]
Dalam hal ini kaitannya dengan kinerja, pengembangan profesi guru dan dosen tidak terlepas dari UU Guru dan Dosen. Karena peran pemerintah dalam meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan dosen dan guru sangat diperlukan. Sehingga pada masa depan, dosen dan guru memiliki profil baru, yang berbeda dengan profil masa lalu. Profil baru yang dimaksud adalah bahwa guru dan dosen itu adalah seorang idealis, profesional, dan sejahtera. Idealis dimaksudkan bahwa menjadi guru atau dosen adalah karena panggilan jiwa dan mengutamakan cita-cita untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Profesional diartikan bahwa guru dan dosen itu menjadikan pekerjaannya sebagai sumber penghasilan kehidupan, dengan berdasarkan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu, setelah melalui pendidikan profesi. Dengan pekerjaan sebagai pendidik profesional itu, maka guru dan dosen bersama keluarganya itu hidup sejahtera dan bermartabat dengan penghasilan diatas kebutuhan hidup minimum.
Kepustakaan:
1. Al-Nahlawi, Abdurachman. (1989). Prinsip-prinsip dan Metode Pendidikan Islam. Bandung: Diponegoro.
2. Anwar Arifin. (2007). Profil Baru Guru dan Dosen di Indonesia. Jakarta: Pustaka Indonesia.
3. Sanusi Uwes. (1999). Manajemen Pengembangan Mutu Dosen. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu.
4. Esha, Muhammad In'am. (2006). Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam Sosial Keagamaan. Jakarta
5. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. (1991). Kamus Besar bahasa Indonesia edisi II. Jakarta: Balai Pustaka.
6. Pengurus Besar PGRI. (1978). Profesi Guru Menyongsong Dunia Hari Esok. Kongres Guru sedunia ke-27 di Jakarta.
* oleh: Muhamad Syadid (Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir Tingkat III Universitas al-Azhar Kairo). No. Pendidikan: 7625.
[2] Quo Vadis Pendidikan Islam; Pembacaan Realitas Pendidikan Islam Sosial Keagamaan. Pengantar Prof.Dr. H. Imam Suprayogo. Penyunting, Muhammad In'am Esha M.Ag, Cet II, Juni 2006, hal 2.
7 Profesi Guru Menyongsong Dunia Hari Esok. Konggres Guru sedunia ke-27 Jakarta, 26 Juli- 2 Agustus 1978. Pengurus besar PGRI 1978, hal. 27-28.
9 Abdurrachman An-Nahlawi. Prinsip-prinsip dan metode Pendidikan Islam, Diponegoro, Bandung, hal. 239-246.
[10] DR. Sanusi Uwes, M.Pd. Manajemen Pengembangan Mutu Dosen, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, cet. 1, 1999, Hal. 15. Hal. 69-78.
[13] Prof. DR. Anwar Arifin, Profil Baru Guru dan Dosen Indonesia, Pustaka Indonesia, Jakarta, 2007 hal. 79-80.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar